Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konflik saudara di Kamboja

Negara Kamboja didiami oleh bangsa Khmer. Beberapa abad sebelum Masehi mereka pindah dari wilayah utara kemudian bermukim di Lembah Sungai Mekong. Mereka adalah petani ulung yang telah mengenal teknik pengairan sawah dan sistem hidrolik. Sistem pemerintahannya terorganisasi dengan baik, sistem kesenian berkembang dengan pesat.

Pengaruh agama dari India terutama agama Buddha berkembang dengan luas, sehingga mayoritas rakyatnya beragama Buddha. Contoh kemajuan seni arsitektur Kamboja adalah "Candi Angkor Wat" yang bercorak Buddha. Kemegahan candi ini sering dibandingkan dengan Candi Borobudur.

Pada abad ke-19, Prancis menjajah Kamboja. Selain menjajah, pemerintah kolonial Prancis juga mengembangkan perekonomian Kamboja untuk kepentingan negaranya. Perkebunan karet dikembangkan dan hasilnya diekspor untuk mengisi kas negara Prancis.

Foto lampiran Konflik saudara di Kamboja

Pengaruh budaya Barat juga masuk dan mempengaruhi perkembangan sosial budaya orang Khmer. Walaupun budaya Barat masuk, budaya lokal yang berdasarkan pada ajaran Buddhisme tetap tumbuh dan berkembang.

Akhirnya Prancis berhasil menguasai Kamboja karena melakukan pendekatan pada raja. Rakyat Kamboja tidak senang dengan tindakan raja. Rakyat Kamboja melakukan perlawanan terhadap Prancis. Keadaan yang kacau di Kamboja dimanfaatkan oleh Vietnam untuk memperluas pengaruh komunisnya dengan membentuk Gerakan Front Anti-Prancis.

Gerakan ini dibentuk Vietnam seolah-olah untuk membantu rakyat Kamboja mengusir Prancis. Namun, kemudian kedok ini berhasil diketahui rakyat Kamboja. Akhirnya timbul perlawanan untuk mengusir Vietnam dari Kamboja.

Invasi (serbuan) Vietnam ke Kamboja segera mendapat perhatian dunia. Negara-negara Barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat mengutuk invasi Vietnam, sedangkan negara-negara Blok Timur yang dipelopori Uni Soviet mendukung sikap Vietnam.

Negara-negara ASEAN juga mengecam Vietnam. Para menteri luar negeri ASEAN mengeluarkan suatu komunike bersama tanggal 7 Januari 1979 di Jakarta. Dalam komunike itu dinyatakan bahwa ASEAN mengutuk invasi bersenjata Vietnam ke Kamboja serta menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan masa depannya yang terbebas dari campur tangan pihak luar dan menyerukan penarikan pasukan asing dari Kamboja.

Pernyataan ASEAN ini ditolak oleh Vietnam. Adanya penolakan ini mengakibatkan munculnya sikap pro dan kontra. Suara ASEAN yang diwakili oleh Perdana Menteri Singapura Siunathamby Rajaratnam menyatakan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional yang antikomunis, tetapi bukan bertujuan menghancurkan Vietnam.

ASEAN hanya menginginkan agar Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja tanpa syarat apapun. Untuk selanjutnya ASEAN bersedia menerima segala keputusan rakyat Kamboja, apakah memilih Heng Samrim yang berkuasa atas dukungan Vietnam atau memilih Pol Pot yang didukung oleh rezim Khmer.

Untuk mempertemukan pihak yang bertikai, atas usulan Indonesia diadakan "Jakarta Informal Meeting I" (JIM I) di Istana Bogor pada bulan Juli 1988 dan dilanjutkan dengan JIM II di Jakarta pada bulan Pebruari 1989. Kesepakatan yang dicapai dalam JIM adalah sebagai berikut :
  1. Pengakuan negara Kamboja yang berdaulat, independen, damai, netral dan nonblok.
  2. Program rekonstruksi dan pembangunan internasional untuk Kamboja.
  3. Penghentian campur tangan dan bantuan dari pihak luar yang bertikai.
  4. Penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja.
  5. Penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas di Kamboja.

Konferensi tingkat internasional diadakan di Paris dengan dihadiri wakil dari ASEAN dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Konferensi ini disebut dengan International Conference on Kampuchea (ICK) atau konferensi internasional mengenai Kamboja yang diharapkan mampu membentuk sebuah badan yang mengawasi penarikan mundur pasukan Vietnam dari Kamboja dan melaksanakan perjanjian perdamaian.

Akhirnya pemerintahan transisi PBB di Kamboja atau United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) pada tanggal 23-28 Mei 1993 berhasil melaksanakan pemilihan umum di Kamboja. Rakyat Kamboja berharap dengan pemilihan umum akan mempunyai pemerintahan yang resmi dan diakui dunia yang membawa rekonsiliasi nasional, sehingga pembangunan rakyat Kamboja dapat berjalan kembali.

Melalui hasil pemilu tersebut, terbentuk pemerintahan baru di Kamboja dengan Pangeran Norodom Ranaridh dan Hun Sen terpilih sebagai perdana menteri dan Norodom Sihanouk diangkat menjadi kepala negara.

Baca juga: Tentang negara Kamboja

Kunjungi: Sejarah Dunia Lainnya