Peranan para Wali/ulama dalam bidang sosial budaya
Para wali atau ulama disamping melakukan tugas keagamaan juga mengemban misi kebudayaan. Misi sosial budaya ini justru dapat dikatakan sebagai perwujudan atau praktik dari hasil pengalaman ajaran Islam. Keberhasilan ulama pada masa itu dapat diukur dengan seberapa jauh perubahan dari kebudayaan masyarakat pra-Islam ke masyarakat Islam. Perubahan ini akan terlihat jelas dari upacara kelahiran, perkawinan, kematian, pola makanan, pakaian dan cara bersikap dan bertingkah laku sehari-hari.
Para wali juga berhasil melahirkan corak kebudayaan baru sebagai hasil dari asimilasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan setempat. Dari proses asimilasi, kebudayaan ini kemudian kita kenal dengan sebutan "Grebeg Syawal" di Yogyakarta, "Sekatenan" di Surakarta, "Dandangan" di Kudus, "Besaran" di Demak dan "Halalbihalal" di seluruh Indonesia.
Masyarakat Jawa pada umumnya juga mengenal adad Sura (1 Muharam), Syawalan (1 Syawal), Besaran (10 Besar), Mauludan dan sebagainya. Dalam proses akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan pra-Islam telah menghasilkan berbagai bentuk budaya fisik seperti Masjid Indramayu dan Masjid Agung Demak yang arsiteknya seperti bangunan pura Hindu, Menara Kudus dan Makam Sunan Bayat yang mirip bangunan candi Hindu.
Masjid Agung Demak dengan gaya arsitek Hindu dan Islam |
Sedangkan peranan para wali dalam bidang politik sebagaimana yang dilakukan Walisongo sangat mendukung Raden Patah dalam mendirikan kerajaan Islam di Demak. Para ulama pada umumnya menjadi penasihat dan guru para raja Islam di Jawa. Misalnya, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus sebagai penasihat dan guru raja-raja Demak.
Disamping menjadi penasihat para raja Islam, juga ada wali yang menjadi raj yaitu, Sunan Gunung Jati. Hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebab semasa Nabi Muhammad masih hidup juga menjabat sebagai kepala negara (khalifah) di Madinah. Demikian juga para sahabat Nabi yaitu Abubakar, Umar, Usman dan Ali juga menjadi Khalifah yang disebut "Khulafaur Rasyidin".
Para ulama di Jawa setelah Walisongo, antara lain: Syekh Bentong di sekitar Lawu, Sunan Bayat di Klaten (Jawa Tengah, Syekh Majagung, Sunan Prapen dan Sunan Sendang. Merek ini pada umumnya mempunyai pondok pesantren.
Para ulama di Indonesia selain para wali di Jawa, terdapat tokoh ulama di luar Jawa, antara lain sebagai berikut:
- Dato'ri Bandang, ulama di daerah Goa Makasar.
- Dato' Sulaeman, ulama di daerah Sulawesi Tengah dan Utara.
- Dato'ri Bandang dan Tuan Tunggang Parang, ulama di Kalimantan Timur.
- Penghulu Demak, ulama di daerah Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Walisongo menyebarkan agama Islam di Jawa dengan cara-cara damai dan bijaksana, tanpa berusaha mengganti kebudayaan setempat yang sudah ada, namun mereka mengasimilasinya yang justru menimbulkan kebudayaan baru yang lebih beraneka ragam. Dengan demikian masyarakat lebih mudah menerima dan melaksanakan ajarannya.
Berikutnya: Pemikir dan ulama Indonesia setelah Para Wali