Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penyebaran pengajaran dan mobilitas sosial

Kebutuhan yang makin terasa akan tenaga administrasi karena makin luasnya jaringan administrasi pemerintah kolonial dan kemudian juga setelah meluasnya jaringan pengajaran.  Karena tujuannya hanya untuk memperoleh tenaga tenaga bawahan yang terdidik, maka sampai akhir abad ke 19 sekolah yang disebut modern terbatas sekali.

Diskriminasi Rasial Pendidikan

Sejak pengajaran diperkenalkan diskriminasi rasial maupun lapisan telah diperlihatkan. Sekolah kelas dua dan sekolah kelas satu diperuntukkan pribumi. Sekolah kelas dua diperuntukan lapisan bawah, sekolah kelas satu untuk golongan menengah. Untuk anak-anak Eropa didirikan sekolah khusus yakni ELS (Europese Lagere School).

Pada awal abad ke 20 sistem sekolah desa atau volksschool diperkenalkan pada masyarakat dengan lama pendidikan tiga tahun. Diciptakan sekolah ini adalah untuk mengurangi beban biaya pemerintah dan menghilangkan anggapan adanya hubungan sekolah dengan maksud pengkristenan penduduk. Pembangunan dan penyelenggaraan tergantung pada kemampuan masyarakat setempat, pemerintah hanya memberi subsidi dan bimbingan.

Mutu pengajarannya cukup sekedar bisa baca tulis dan berhitung, tetapi murid yang pandai dan terpilih dapat melanjutkan pada sekolah sambungan atau ver volgschool, untuk masa dua tahun. Secara berangsur angsur system itu menggantikan kedudukan sekolah kelas dua sebagai lembaga pendidikan yang terpenting bagi rakyat jelata.

Untuk menentukan kebutuhan pendidikan anak anak golongan menengah, didirikan HIS (Hollands Inlandese School = sekolah dasar) dimana bahasa belanda juga dijadikan  bahasa pengantar lama pendidikan 7 tahun, dan mereka yang pintar dan mampu dapat melanjutkan lagi ke MULO (meer uitgebraid lager onderwijs =SMP) dan seterusnya ke AMS (algement middelbare school =SMA). Di sampan itu ada HBS (hogere burgerschool SMP + SMA jadi satu) bagi lapisan atas dengan masa pendidikan lima tahun.

Selain sekolah umum juga ada sekolah kejuruan, seperti sekolah pamongpraja, sekolah guru, sekolah dagang, sekolah teknik dan sebagainya. Murid yang pintar dan mampu, yang biasanya sangat terbatas sekali jumlahnya, dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.

Pada mulanya tentu harus ke Eropa (negeri belanda), dan baru sesudah tahun 1920 kemungkinan itu lebih besar di Indonesia dengan didirikannya beberapa perguruaan tinggi, seperti perguruan tinggi hukum, perguruan tinggi pertanian, perguruan tinggi kedokteran dan perguruan tinggi teknik.

Anggapan Sekolah Sebagai Alat Merubah Status Sosial

Meningkatnya perhatian masyarakat akan pendidikan modern yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial itu, menyebabkan banyak anak-anak yang berminat tidak tertampung, meskipun jumlah sekolah terus bertambah.

Bertambahnya minat sekolah itu menyebabkan kemudian tujuan dari pengajaran semula telah menyimpang dan kabur. Tumbuhlah anggapan bahwa sekolah dapat menjadi alat untuk merubah stasus sosial seseorang atau memperkuat kedudukan bagi anggota golongan atas sekalipun bila tidak mempunyai ijazah, akan sulit diterima sebagai pegawai pemerintah atau perusahaan.

Terbatasnya daya tampung sekolah-sekolah pemerintah, dan adanya keinginan untuk mendirikan sekolah “modern” dalam bentuk lain mendorong timbulnya sekolah swasta, baik sekolah swasta pribumi maupun sekolah swasta asing.

Swasta pribumi dapat di bagi berdasarkan atas sekolah -sekolah seperti taman siswa, kasatria institute, perguruan rakyat Jakarta dan INS kayutanan (Sumatra barat) berdasarkan agama yang didirikan oleh sarikat islam, muhamadiyah, sekolah agama agama di Sumatra barat. Swasta asing umumnya didirikan oleh misi dan zeding, terutama di Sulawesi utara dan Tapanuli utara. karena dikelola dengan baik, beberapa sekolah ini bahkan melebihi mutu sekolah negeri.

Sekolah swasta pribumi kemudian pada umumnya bersikap nasionalistik dan antikolonialistik. Sesuatu yang menarik dalam pertumbuhan sekolah swasta pribumi ini ialah peranan sekolah yang diusahakan dan ditujukan untuk kepentingan kemajuan wanita. Pelopor wanita ini antara lain R.A Kartini (Jawa Tengah) Dewi Sartika (Jawa Barat) Walanda Maramis (Sulawesi) dan Rahmah (Sumatra).

Peran Swasta Dalam Perluasan Pendidikan

Dengan ikutnya pihak swasta dalam bidang pengajaran, maka perluasan pendidikan sudah mencapai desa-desa diseluruh Indonesia. Meskipun di beberapa daerah penyebarannya sudah tidak seimbang, akan tetapi jumlahnya dapat diketahui seberapa jauh penyebab pengajaran dan campur tangan swasta.

Di Sulawesi pada permulaan abad ini diketahui bahwa pada suatu ketika untuk daerah Minahasa saja tersedia sekolah pemerintah 115 buah, swasta umum 14 dan sekolah swasta agama 23 buah, sedang untuk daerah Sulawesi lainnya hanya 20 buah.

Di Sumatera kecuali Tapanuli utara, jumlah sekolahan pemerintah, swasta, pribumi dan misi adalah 98 buah, sedangkan di Tapanuli utara ketiganya berama-sama berjumlah 200 buah. Meskipun pengajaran sudah meluas namun bila dibandigkan dengan jumlah penduduk jauh masih kurang. Bahkan yang lulus dari sekolah sekolah itupun hanya beberapa persen saja. Keadaan ini diperburuk dengan adanya pembatasan berdasarkan ras dalam system Kolonial.

Sebagai contoh: pada tahun 1930 jumlah murid sekolah desa adalah 1.229.666 orang tetapi yang melanjutkan ke sekolah sambungan hanya 253.736 orang, dan tahun 1940 adalah 282.358 orang. Pada tahun ajaran 1939/1940 dari 2.310.533 muri (dari segala jenis sekolah dan tingkat) yang tamat atau lulus hanya 510.095 orang.

Suatu hal yang menarik juga dalam hal ini ialah bahwa sekolah umum lebih popular dari sekolah kejuruan yang sampai sekarang masih kelihatan. Sebagai contoh dalam tahun 1930 jumlah murid semua kejuruan pemerintah adalah 5.233 orang, sedangkan jumlah murid untuk MULO (SMP) saja 6.906 orang. Pada swasta pribumi jumlahnya lebih besar yaitu 15.716 orang.

Pertumbuhan Pengajaran Tahun 1910 sampai 1930

Pertumbuhan dari pengajaran untuk masa masa tertentu selama periode pergerakan nasional juga tidak sama. Untuk sekolah-sekolah pemerintah antara tahun 1910 sampai 1930 merupakan periode perkembangan yang pesat, baik sekolah maupun muridnya. Tetapi dalam periode sesudah itu hingga akhir pemerintah kolonial perkembangan ini menurun antara lain karena kebijaksanaan politik waktu itu sebagai akibat ekonomi dunia.

Pada sekolah swasta pribumi yang kebanyakan bersifat nasionalistis keadaan yang sama juga terlihat. Karena timbulnya mobilitas sosial yang cepat, maka segala pengaruhnya terutama dibidang politik menyebabkan pegawai bersifat pemerintah pernah mengeluarkan peraturan sekolah-sekolah liar yang pada hakikatnya ditujukan terhadap sekolah-sekolah yang bersifat nasionalistis. 

Sehubungan dengan penyebaran pengajaran yang bercorak barat di mana berbagai macam ilmu di ajarkan dengan cepat diperluas lapangan kerja baru. Dengan adanya spesialisai bidang ilmu yang di pelajari maka pekerjaan pun sesuai dengan ilmu yang dimilikinya, begitupun kesempatan yang di peroleh seharusnya sepadan dengan kemampuannya. Akan tetapi dengan masih adanya diskriminasi ras dan pembedaan golongan berdasarkan keturunan, maka seseorang yang mempunyai kecerdasan sama dalam kesempatan kerja diperbedakan.

Orang kulit putih dan anak-anak bangsawan serta pejabat tinggi pemerintah (seperti bupati) harus diutamakan atau didahulukan. Sebagai akibatnya timbullah golongan orang-orang terpelajar dan tenaga terdidik Indonesia yang berada diluar sasaran semula. Karena kepincangan tersebut, mereka kemudian bersikap menolak sistem kolonial. Mereka inilah yang kemudian terpanggil untuk memimpin pergerakan nasional.

Penyimpangan Pengajaran

Menyimpangnya maksud semula dari pengadaan pendidikan seperti timbul dan berkembangnya berbagai ideologi ke kalangan rakyat serta pelebaran diferensiasi kerja, ditambah lagi dengan makin luasnya pengaruh penerobosan ekonomi uang menimbulkan adanya dua macam mobilitas sosial. Pertama mobilitas vertical artinya perubahan status seseorang naik dari tingkat bawah ke tingkat yang lebih atas. Dalam lapangan kepegawaian hal ini kelihatan lebih jelas.

Anak anak dari pegawai yang rendah karena pendidikan yang mereka peroleh, mempunyai kesempatan untuk melampaui tingkat yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Jadi anak seorang pegawai rendah atau guru sekolah dasar dapat menjadi guru sekolah menengah atau jadi dokter, insinyur, sarjana hukum, dan lain lain.

Dapat dilihat bahwa proses pembirokrasian dari kalangan atas masyarakat Indonesia adalah pengaruh yang penting dari jaringan sekolah sekolah corak barat. Birokrasi pada bagian kelas atasan tidak saja terpantul pada kedudukan resmi tetapi juga pada status yang berdasarkan kekayaan.

Diperkirakan bahwa 53% dari 4016 orang pribumi yang berpenghasilan 3000 golden setahun adalah pegawai negeri. Angka-angka ini memberi gambaran betapa pentingnya peranan sekolah dalam proses birokratisasi dan bahwa sekolah lebih banyak ditujukan untuk membentuk tenaga-tenaga yang teruntuk system kolonial.

Kecenderungan ini juga dapat merugikan pemerintah dan pembatasi kemampuan sekolah sebagai pergerakan dalam perkembangan sosial karena mereka yang tidak tertampung, menjadi tidak puas terhadap pemerintah. Pada akhirnya kita mengenal dua jenis elite, yaitu elite birokrate modern yang elite intelektual.

Yang kedua adalah mobilitas horisontal artinya perubahan status seseorang dapat berubah ubah dalam tingkat yang sama. Umpamanya petani dapat menjadi buruh perkebunan atau pabrik maupun tukang yang dalam masyarakat lama belum ada.

Baca juga: Elite nasional dan nasionalisme Indonesia baru