2 cara pelaksanaan pemilu sistem mechanis
Seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya bawah sistem pemilihan umum dibagi menjadi dua, salah satunya adalah sistem mechanis. Sistem ini dapat dilaksanakan dengan 2 cara, yaitu :
- Sistem perwakilan distrik/mayoritas/single member constituencies
- Sistem perwakilan proporsional
Kita bahas satu persatu lebih rinci
Sistem perwakilan distrik/mayoritas/single member constituencies
Melaksanakan sistem distrik ini ialah wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dikehendaki. Misalnya menjadi 500 distrik.
Setiap distrik akan diwakili oleh satu orang wakil di badan Perwakilan Rakyat. Karena itu dinamakan distrik single member constituencies. Sistem ini juga dinamakan sistem mayoritas, karena untuk menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara rakyat yang terbanyak (suara mayoritas) dan tidak perlu mayoritas mutlak.
Umpamanya dalam distrik X, calon A memperoleh suara 10.000, B memperoleh 7.500, C memperoleh 9.000, maka yang dipilih sebagai wakil distrik adalah X di Badan Perwakilan Rakyat adalah A.
Pemilihan diadakan sekali jalan, suara-suara yang tidak terpilih dari satu distrik pemilihan tidak dapat digabungkan dengan suara yang diperoleh dari distrik pemilihan yang lain. Ini berarti bahwa setiap suara yang tidak mencapai mayoritas, yang juga berarti bahwa calon yang dipilih tidak terpilih, suara tersebut tidak dihitung atau menjadi hilang.
Kebaikan dari sistem ini ialah bahwa setiap calon dari suatu distrik pemilihan biasanya adalah warga distrik tersebut atau mungkin orang dari distrik lain. Tetapi yang pasti bahwa orang tersebut dikenal secara baik oleh warga distrik yang bersangkutan.
Dengan demikian hubungan antara para pemilih dengan para calon sangat erat, sebab bagi para pemilih tentu saja calon yang paling dikenal mereka yang akan dipilih. Karena calon yang terpilih adalah warga atau orang yang sudah cukup lama tinggal di dalam distrik tersebut, maka dia akan mengetahui kepentingan-kepentingan dan keadaan distrik yang diwakilinya.
Di samping kebaikan tersebut, sistem ini mengandung keburukan, antara lain bahwa kemungkinan akan terjadi wakil-wakil rakyat yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat hanya akan memperjuangkan kepentingan daerahnya selalu ada. Sebab ukuran bagi warga distrik dalam memilih calon mereka adalah yang dapat memperjuangkan kepentingan distriknya. Seharusnya seorang Badan Perwakilan Rakyat memperjuangkan kepentingan yang bersifat rasional.
Keburukan yang lain adalah bahwa karena setiap distrik hanya ada satu wakil, dan penghitungan suara secara mayoritas, maka tidak selalu partai politik yang besar akan menguasai secara mayoritas pula suara di Badan Perwakilan Rakyat. Sebab kemungkinan partai politik tersebut merupakan mayoritas untuk seluruh distrik pemilihan.
Sistem perwakilan proporsional
Sistem ini ialah sistem di mana persentase kursi di Bada perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu.
Umpamanya jumlah pemilih yang syah pada suatu daerah pemilihan ada 10.000.000 orang, dan jumlah kursi di Badan Perwakilan Rakyat ditentukan 10 kursi, berarti untuk 1 orang wakil rakyat dibutuhkan 100.000 suara. Pembagian kursi ini bergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum itu.
Pada dasarnya sistem ini dapat dilaksanakan dengan 2 metoda, yaitu : Single transferable vote (Hare sistem) dan List system (sistem daftar).
Single transferable vote
Di mana pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari distrik yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya dan seterusnya.
Contoh :
Jumlah suara yang dibutuhkan untuk terpilih sebagai wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat ada 10.000 suara. Calon-calon dari partai politik X mendapat suara sebagai berikut :
- A untuk daerah I mendapat suara 19.000 suara.
- B untuk daerah II mendapat suara 9.000 suara.
- C untuk daerah III mendapat suara 7.000 suara.
- D untuk daerah IV mendapat suara 5.000 suara.
Apabila didasarkan kepada imbangan suara 10.000, maka dari partai politik X yang terpilih hanyalah calon A saja. Tetapi karena dipraktekkan Hare System, maka kelebihan suara A sebanyak 9.000 dapat dipindahkan kepada calon B, sehingga B juga terpilih, karena B akan memperoleh 18.000 suara, kelebihan suara 8.000 dari B dapat dipindahkan kepada C. Sehingga C akan memperoleh 15.000 suara, yang berarti masih ada kelebihan suara 5.000 suara. Dan ini dapat dipindahkan kepada calon D, sehingga akhirnya D juga terpilih, sebab jumlah suaranya menjadi 10.000 sesuai dengan jumlah imbangan suara yang diperlukan.
Dari contoh ini dijelaskan bahwa akibat sistem Hare maka calon yang semula terpilih hanya A, akhirnya semua calon dapat terpilih.
Penggabungan suara ini memungkinkan partai politik yang kecil mendapat kursi di Badan Perwakilan Rakyat, yang semula tidak mencapai jumlah imbangan suara yang ditentukan. Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa penghitungan suara hak berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan yang lebih.
List System (Sistem Daftar)
Pada list sistem ini pemilih diminta memilih di antara daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum.
Dalam sistem perwakilan proporsional ini para pemilih akan memilih partai politik, bukan calon perseorangan seperti pada sistem distrik. Akibatnya hubungan antara para pemilih dan wakil-wakilnya di Badan Perwakilan Rakyat tidak seerat dalam sistem distrik. Dampaknya kekuasaan partai politik sangat besar, karena pada hakikatnya partai politiklah yang menentukan siapa-siapa calon partai politik untuk pemilihan umum.
Sedangkan praktek dari Hare sistem dapat mengakibatkan kecenderungan tumbuhnya partai politik, karena adanya ambisi perseorangan yang ingin duduk sebagai pimpinan partai politik, maka dibentuklah partai baru.
Baca juga: Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi
Baca juga: Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi