Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

7 kabinet masa Demokrasi Parlementer

Pada masa Demokrasi Parlementer diwarnai dengan pergantian tujuh kabinet. Hampir semua kabinet yang dibentuk merupakan zaken kabinet (kabinet yang menteri-menterinya dipilih berdasarkan keahliannya) dan didukung oleh koalisi dari berbagai partai.

Namun, komposisi dan kekuatan kelompok oposisi sering kali berubah-ubah, akibatnya kabinet jatuh setelah mendapatkan mosi tidak percaya dari kelompok oposisi yang kuat di parlemen. Bahkan, partai pemerintah pernah menjatuhkan kabinet yang dibentuknya sendiri. Bahkan partai pemerintah pernah menjatuhkan kabinet yang dibentuknya sendiri.

Gambar 7 kabinet masa Demokrasi Parlementer
Gambar ilustrasi 7 kabinet masa Demokrasi Parlementer

Berikut kabinet yang pernah memerintah pada masa Demokrasi Parlementer.

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Kabinet Natsir adalah kabinet koalisi yang berintikan Partai Masyumi dengan Perdana Menteri Muhammad Natsir. Tokoh pendukung kabinet ini adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Assaat, Ir. Djuanda, dan Prof. Sumitro Joyohadikusumo.

Program kerja Kabinet Natsir sebagai berikut :
  1. Meningkatkan keamanan dan ketertiban.
  2. Menguatkan konsolidasi, penyempurnaan susunan pemerintahan.
  3. Penyempurnaan angkatan perang.
  4. Memusatkan perhatian pada ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi sosial.
Kabinet Natsir mulai goyah sejak kegagalan dalam perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat. Kabinet ini jatuh setelah Hadikusuma dari PNI mengajukan mosi tidak percaya menyangkut pencabutan PP No. 39/1950 tentang DPRS dan DPRDS. Akhirnya pada tanggal 21 Maret 1951, Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952)

Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara PNI dan Masyumi dengan Perdana Menterinya Sukiman Wiryosanjoyo. Program kerja Kabinet Sukiman sebagai berikut :
  1. Penerapan tindakan tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
  2. Memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperbarui hukum agrarian untuk kesejahteraan rakyat.
  3. Mempersiapkan segala usaha untuk pemilu.
  4. Memperjuangkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama karena banyak hal yang ditentang oleh parlemen termasuk dari Masyumi dan PNI. Penyebab utama jatuhnya Kabinet Sukiman adalah pertukaran nota antara Menlu Subarjo dengan Duta Besar Amerika, Merle Cochran.

Nota tersebut berisi tentang pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada pemerintah Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Kabinet ini dianggap telah menyelewengkan Indonesia dari politik luar negeri bebas aktif. Kabinet Sukiman jatuh setelah PNI dan Masyumi menarik dukungannya.

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953)

Kabinet Wilopo disebut juga zaken kabinet, karena terdiri atas para pakar di bidangnya. Kabinet Wilopo dipimpin oleh Mr. Wilopo dengan program kerjanya sebagai berikut :
  1. Mempersiapkan dan menyelenggarakan kemakmuran, pendidikan dan keamanan rakyat.
  2. Berusaha menyelesaikan masalah Irian Barat, memperbaiki hubungan dengan Belanda dan konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.
Tantangan yang dihadapi Kabinet Wilopo selain kondisi ekonomi yang kritis juga munculnya gerakan separatisme di sejumlah daerah. Ujian terberat Kabinet ini adalah "Peristiwa 17 Oktober 1952" dan "Peristiwa Tanjung Morawa".

Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat menekan Presiden Soekarno agar membubarkan kabinet. Sedangkan Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara merupakan bentrokan antara aparat kepolisian dan para petani liar.

Peristiwa ini mendapatkan sorotan tajam, baik dari pers maupun dari parlemen. Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kabinet Wilopo. Dan pada tanggal 2 Juni 1953 Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)

Kabinet Ali Sastroamijoyo I dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo dan merupakan koalisi antara PNI dan NU. Program kerjanya sebagai berikut :
  1. Mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang rencananya diadakan pada pertengahan tahun 1955.
  2. Mengatasi gangguan keamanan dan pemberontakan di daerah.
  3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dan turut berperan dalam menciptakan perdamaian dunia.
Kabinet ini berhasil menyelenggarakan konferensi Asia-Afrika pada tahun.1955. Sedangkan masalah yang dihadapi adalah masalah TNI-AD sebagai kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952.

Mayor Jenderal Bambang Sugeng, Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui kabinet. Sebagai gantinya ditunjuk Kolonel Bambang Utoyo. Pimpinan baru tersebut ditolak oleh para Panglima AD karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.

Masalah lain yang dihadapi Kabinet Ali Sastroamijoyo adalah pada tanggal 20 Juli 1955 NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-menterinya yang kemudian diikuti oleh partai-partai lain. Keretakan dalam kabinet ini memaksa Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

5. Kabinet Burhannudian Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956

Kabinet ini dipimpin oleh Burhannudian Harahap dengan program kerjanya sebagai berikut :
  1. Memerintahkan polisi militer untuk menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas dasar kasusu korupsi di Departemen Kehakiman.
  2. Melaksanakan pemilu secara baik, maksimal dan secepat mungkin.
  3. Mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD pada tanggal 28 Oktober 1955.
Prestasi yang terlihat pada Kabinet Burhannudian Harahap adalah penyelenggaraan pemilu yang demokartis. Pada tahun 1955 perjuangan diplomasi Irian Barat yaitu dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Kabinet Burhannudian Harahap jatuh setelah tidak mendapatkan dukungan dalam pemilu 1955.

6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 - 4 Maret 1957

Kabinet ini dipimpin oleh Ali Satroamijoyo yang merupakan koalisi tiga partai, yaitu PNI, Masyumi dan NU. Program Kabinet ini disebut rencana pembangunan lima tahun yang memuat program-program jangka panjang sebagai berikut :
  1. Perjuangan pengembalian Irian Barat.
  2. Pembentukan daerah-daerah otonom dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
  3. Mengusahakan perbaikan nasib buruh dan pegawai.
  4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
  5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Masalah yang dihadapi kabinet Ali Satroamijoyo II adalah pergolakan di daerah yang semakin menguat, seperti pembentukan dewan militer di Sumatera dan Sulawesi. Dalam kabinet sendiri timbul perpecahan antara Masyumi dan PNI.

Masyumi menghendaki agar Ali Satroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai dengan tuntutan daerah, tetapi dari PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer. Posisi Kabinet Ali melemah setelah pada bulan Januari 1957 Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet. Akhirnya pada tanggal 14 Maret 1957, Ali terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden.

7. Kabinet Karya atau Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)

Kabinet Karya atau Djuanda dipimpin oleh Djuanda dengan 3 orang wakilnya, yaitu Mr. Hardi, Idham Chalid dan dr. Leimena. Tugas kabinet ini adalah menghadapi pergolakan di daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat, dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kabinet Djuanda menyusun program yang disebut Pancakarya. Oleh karena itu, Kabinet Djuanda disebut sebagai Kabinet Karya. Berikut program-program Pancakarya :
  1. Membentuk Dewan Nasional.
  2. Normalisasi keadaan Republik.
  3. Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB.
  4. Perjuangan Irian Barat.
  5. Mempergiat pembangunan.
Pada tanggal 14 September 1957 diadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di daerah. Munas berlangsung di gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 yang dihadiri tokoh-tokoh dari pusat dan daerah.

Masalah yang dibahas dalam Munas seperti masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembangunan wilayah RI. Kemudian Munas dilanjutkan dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) pada bulan November 1957.

Pada masa kabinet ini terjadi peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang dikenal sebagai Peristiwa Cikini. Peristiwa Cikini terjadi di depan Perguruan Cikini pada tanggal 30 November 1957.

Kabinet Djuanda berakhir setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Baca juga artikel lain yang membahas seputar demokrasi parlementer di bawah ini:
Itulah tujuh kabinet yang pernah ada pada masa Demokrasi Parlementer yang akhirnya satu-persatu tumbang.
Supriyadi Pro
Supriyadi Pro Nama asli saya Supriyadi dan populer Supriyadi Pro. Saya seorang Expert wordpress developer freelancer, content writer, editor. Memiliki minat besar pada dunia teknologi, sains, seni budaya, social media, dan blogging. Saya kelahiran suku Jawa, di Wonogiri, Jawa Tengah yang ahli bahasa Jawa dan seni gamelan. Silahkan hubungi saya lewat laman yang telah disediakan atau kunjungi website profil saya di https://supriyadipro.com