Kedudukan dan kehidupan wanita masa kolonial
Sebelum kedatangan bangsa Barat ke Indonesia, kaum wanita Indonesia dibelenggu dengan aturan-aturan tradisi dan adat yang cenderung membatasi peran mereka dalam kehidupan masyarakat. Kaum perempuan Indonesia lebih banyak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pelayan suami di rumah.
Perempuan pada waktu itu tidak mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan yang mereka peroleh hanya terbatas pada usaha untuk mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ibu. Kaum perempuan Indonesia juga tidak memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri.
Modernisasi Kaum Wanita
Kedatangan bangsa Barat dengan kebudayaannya, sedikit banyak membuka mata beberapa kalangan di Indonesia, terutama kaum priyayi terpelajar untuk melakukan modernisasi. Kualitas dan gaya hidup kaum Barat, termasuk kaum wanita yang menjunjung tinggi kebebasan terlihat begitu kontras dengan kualitas dan gaya hidup pribumi yang begitu terikat akan trafisi dan adat. Hal ini menyadarkan kaum terpelajar akan keterbelakangan dan kekolotan masyarakat dan kaum perempuan di Indonesia.
Pelopor Emansipasi Wanita
Pergerakan emansipasi wanita dipelopori oleh R.A. Kartini, Dewi Sartika dan Maria Walanda Maramis. Pergerakan emansipasi wanita pada intinya ingin mencapai persamaan derajat antara pria dan wanita. Dengan dibukanya sekolah model Barat dan adanya kesempatan bagi warga pribumi untuk sekolah, menimbulkan aspirasi-aspirasi untuk mengadakan inovasi dan modernisasi.Ada dua jenis gerakan perempuan pada masa-masa awal abad XX, yaitu organisasi lokal kedaerahan dan organisasi keagamaan. Putri Mahardika merupakan organisasi keputrian tertua yang merupakan bagian dari Budi Utomo.
Organisasi Putri Mahardika dibentuk pada tahun 1912. Tujuannya adalah memberikan bantuan, bimbingan, dan penerangan pada gadis pribumi dalam menuntut pelajaran dan menyatakan pendapat di muka umum
Untuk memperbaiki hidup perempuan, Putri Mahardika memberikan beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan. Adapun tokoh-tokohnya yaitu : R.A. Sabarudin, R.A. Sutinah Joyopranoto, Rr. Rukmini dan Sadikin Tondokusumo.
Setelah Putri Mahardika, maka lahirlah berbagai organisasi perempuan lain, baik yang dibentuk sendiri oleh kaum wanita maupun organisasi yang beranggotakan kaum pria.
Organisasi tersebut antara lain :
1. Pawiyatan Wanita di Malang tahun 1915.
2. Pencintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada tahun 1917.
3. Purborini di Tegal tahun 1917.
4. Aisyah di Jogjakarta tahun 1918.
5. Perempuan Susilo di Pemalang tahun 1918.
Baca juga: Kebijakan pemerintah kolonial terhadap kehidupan agama
Baca juga: Kebijakan pemerintah kolonial terhadap kehidupan agama