Kisah Faletehan, Sang Sunan Gunungjati
Faletehan atau Fatakhillah yang kemudian terkenal dengan Sunan Gunungjati, menurut keterangan beberapa ahli beliau berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Sunan Gunungjati berasal dari Persia. Masa kelahirannya belum diketahui dengan pasti. Hanya yang jelas menurut riwayat sejarah beliau dilahirkan di Pasai.
Ada juga yang menyatakan bahwa beliau itu putra dari raja Mekkah (Arab) yang kawin dengan putri Kerajaan Pajajaran (Sunda). Mengenai namanya pun belum terdapat kesatuan pendapat diantara para ahli sejarah. Sunan Gunungjati memiliki banyak nama, antara lain :
1. Muhammad Nuruddin
2. Syekh Nurullah
3. Sayyid Kamil
4. Bulqiyyah.
5. Syekh Madzkurullah
6. Syarif Hidayatullah
7. Makhdum Jati
Sedangkan menurut babad-babad, nema Sunan Gunungjati sangatlah panjang. Yaitu : Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Makhdum Rahmatullah. Dan kemudian setelah mangkatnya digelarkan dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Manurut Barros, salah seorang ahli sejarah Portugis, Sunan Gunungjati itu bernama Faletehan.
Akan tetapi, menurut Fernao Mendes Pinto, seorang pengembara Portugis yang pernah datang ke tanah Jawa menceritakan bahwa pada tahun 1546 raja Sunda bernama Taragil. Mengenai nama Taragil ini Prof. Dr. A. Hoesin Djajadiningrat berpendapat bahwa Taragil itu salah ucapan dari kata Fakhril.
Kemudian mengenai nama Sunan Gunungjati menurut dugaan Prof. Dr. A. Hoesin Djajadiningrat, yang dimaksudkan dengan Faletehan kemungkinan berasal dari bahasa Arab Fatkhan, dari kata Fath. Hal ini mengingat bahwa dalam tahun 1919 ada seorang Naib dari kawedanan Singen Lor, di Semarang yang bernama Hajai Mohammad Fatkhan.
Menurut penyelidikan Dr. B. J. O. Schrieke, salah seorang Orientalis Barat yang terkenal mengatakan bahwa nama Faletehan itu mungkin berasal dari perkataan Arab : Fatahillah.
Adapun yang mengidentifisir nama Faletehan dengan Sunan Gunungjati dengan Taragil adalah Prof. Dr. A. Hoesin Djajadiningrat.
Diceritakan Faletehan ketika masih kecil belajar agama pada orang tuanya di Pasai. Pada suatu ketika tatkala Faletehan telah menginjak dewasa daerah Pasai tempat kelahirannya diduduki oleh bangsa Portugis yang datang dari Malaka. Kota Malaka dapat direbut oleh bangsa Portugis pada tahun 1511 M.
Pendudukan Portugis atas daerah Pasai (Aceh) ini menimbulkan dendam kesumat pemuda Faletehan. Dan perasaan benci kepada penjajahpun mulai berkobar pula dalam dadanya. Akhirnya beliau menyingkir dari tanah tumpah darahnya, dan pergilah ke tanah suci Mekkah.
Di tanah suci, Faletehan menuntut ilmu serta memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Sesudah beliau pergi merantau ke tanah Arab selama kurang lebih 3 tahun, ia mengira Portugis telah pergi meninggalkan bumi Pasai.
Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Mereka ternyata masih berada di sana. Hal ini menambah kepedihan hati Faletehan. Lahirnya Faletehan bertekad untuk meninggalkan tanah airnya kembali dan bertolak ke tanah Jawa.
Sudah barang tentu kedatangan Faletehan ini disambut baik oleh Kerajaan Islam Demak. Yang pada saat itu Demak berada dibawah pemerintahan Raden Trenggono, yang memerintah dari tahun 1521 - 1546 Masehi.
Selengkapnya tentang siapa saja raja Demak silahkan baca di artikel Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak
Selengkapnya tentang siapa saja raja Demak silahkan baca di artikel Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak
Pada zaman Trenggono inilah kerajaan Demak mengalami masa keemasannya. Daerah kekuasaannya semakin meluas. Di samping itu juga telah memiliki armada yang kuat, sehingga pada zaman Pati Unus (1518 - 1521) pernah menyerang Portugis di Malak, meskipun tidak berhasil.
Pada masa Sultan Trenggono pula, berkat usaha dan jasa Faletehan, beberapa daerah di Jawa Barat di Islamkan serta berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak pula. Oleh karena itu kedatangan Faletehan ini merupakan suatu sumbangan yang besar sekali artinya bagi penyiaran dan penyebaran Islam selanjutnya.
Berhubung dengan itu untuk memikat hati pemuda Faletehan, agar merasa senang dan tetap tinggal di Jawa, maka dikawinkanlah Faletehan dengan adik Raden Trenggono.
Dengan demikian, bertambah eratlah hubungan, persahabatan biasa kini menjadi kekeluargaan. Pada masa itu Jawa Barat masih merupakan daerah kekuasaan orang Hindu. Banten dan Sunda Kelapa pun masuk dalam jajahan kerajaan Pajajaran.
Maka dengan seizin R. Trenggono akhirnya dikirimlah suatu ekspedisi menuju Banten, di bawah pimpinan Faletehan untuk menyiarkan agama Islam di sana. Lama-kelamaan Banten dapat dikuasai oleh Faletehan. Kemudian ditaklukkannya pula Sunda Kelapa.
Ketika orang-orang Portugis datang di Sunda Kelapa, diusir oleh Faletehan, begitu pula dibunuhnya anak kapal yang terdampar dekat pelabuhan Sunda Kelapa (1526) dan kemudian Fransisco De Sa pun dipukul mundur oleh Faletehan dengan mendapat kerugian sehingga kembali ke Malaka (1527).
Baca kisah selengkapnya di artikel sejarah : Sultan Trenggana gugur Demak pindah ke Pajang
Baca kisah selengkapnya di artikel sejarah : Sultan Trenggana gugur Demak pindah ke Pajang
Setahun kemudian, Cirebon jatuh pula ke tangan Faletehan (1528). Sehingga Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon akhirnya berada di bawah kekuasaan Faletehan. Dengan demikian Sunan Gunungjati telah merintis jalan perhubungan di pantai utara dari Jawa Barat, yang menyebabkan sepanjang pesisir utara mulai dari Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon, Demak, Jepara, Kudus, Tuban dan Gresik berada di tangan orang Islam.
Semenjak itu Sunan Gunungjati tidak lagi menetap di Demak, melainkan tetap bertempat tinggal di Cirebon hingga wafatnya. Meskipun Sunan Gunungjati telah berhasil meng-Islamkan beberapa daerah di Jawa barat, namun demikian kekuasaan tertinggi masih berada di tangan Demak.
Hanya sesudah Trenggono wafat barulah Faletehan menyatakan memisahkan diri dari ikatan Demak, yaitu tatkala di Demak terjadi perselisihan antara Sultan Adiwijaya dengan Arya Penangsang. Konon kabarnya yang memberikan gelar Sultan kepada Raden Trenggono adalah Sunan Gunungjati.
Pada tahun 1570 M, Faletehan meninggal dunia, dan dikebumikan di Gunung Jati Cirebon. Sehingga akhirnya belia dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.