Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Normalisasi hubungan Indonesia dan RRC

Dalam catatan sejarah hubungan antara Indonesia dan RRC pernah membeku sejak bulan Oktober 1967, karena RRC diyakini berada di belakang kudeta yang dilakukan oleh PKI di Indonesia pada tahun 1965.

Selengkapnya tentang pemberontakan PKI silahkan baca di artikel : Proses terjadinya peristiwa G.30.S/PKI

Meskipun negara-negara angota ASEAN seperti Malaysia Thailand, dan Filipina pada tahun 1974 dan 1975 telah membina hubungan diplomasi dengan RRC, namun Indonesia tetap tidak berubah. Indonesia akan menormalkan hubungan dengan RRC jika Cina benar-benar bersahabat dan berhenti memberikan bantuan dan fasilitas terhadap paara mantan pimpinan PKI.

Kelompok Pronormalisasi dan Antinormalisasi RRC

Di antara para pemimpin Indonesia terpecah pandangannya mengenai hubungan Cina dan Indonesia. Perpecahan ini semakin mencolok setelah Deng Xiaoping yang berkuasa tahun 1977 mendorong politik luar negeri RRC jauh lebih moderat, yaitu menanamkan persahabatan dengan negara-negara dunia ketiga.

Kelompok pronormalisasi merasa bahwa normalisasi hubungan Indonesia - Cina akan mendorong ekspor Indonesia ke RRC dan hal ini membantu menggairahkan bisnis Indonesia. Sedangkan kelompok antinormalisasi melihat bahwa RRC tetap menjadi ancaman, karena akan tetap mendukung gerakan sayap kiri di Indonesia setelah mereka menciptakan hubungan normal.

Kelompok ini juga menilai, jika normalisasi Indonesia tetap dilakukan, maka Indonesia akan memberi kewarganegaraan kepada warga Cina perantauan yang ada di RI. Pemberian kewarganegaraan kepada warga Cina akan memperkuat kontrol kelompok Cina minoritas tersebut dalam ekonomi Indonesia.

Kokohnya sikap pemerintah Indonesia atas kebijaksanaannya untuk tidak menormalisasi hubungannya dengan RRC mulai rapuh. Hal ini dipicu ketika harga minyak jatuh. Karena minyak mencakup 60% dari pendapatan negara, maka Indonesia perlu mendorong ekspor nonmigas.

Atas keadaan itu, pemerintah Presiden Soeharto memutuskan untuk meluaskan pasar ekspornya, khususnya komoditi-komoditi nonmigas. Selain Jepang dan negara-negara Barat, pemerintah juga menginginkan produk-produk Indonesia bisa memasuki pasar negara-negara sosialis, terutama pasaran Cina.

Keadaan ini membuat para pengusaha Indonesia antusias, terutama mereka yang ada di Kadin (Kamar Dagang Industri Indonesia). Kadin adalah organisasi semi pemerintah yang pernah dipimpin oleh Sukamdani. Dibawah kepemimpinannya, anggota Kadin bergabung dengan Golkar.

Indonesia membuka perdagangan dengan RRC

Pada bulan November 1984, Mochtar Kusumaatmadja mengumumkan keinginan Indonesia untuk membuka kembali perdagangan langsung dengan RRC. Namun, Mochtar menegaskan bahwa hal ini tidak berhubungan dengan pemulihan hubungan diplomatik, karena Indonesia belum siap untuk normalisasi secara menyeluruh.

Lihat biografi beliau di artikel : Profil Mochtar Kusumaatmadja

Perdagangan langsung berjalan secara lamban, karena muncul persoalan baru. Prasarana untuk perdagangan langsung belum dibangun secara baik dan beberapa orang berpendapat bahwa perdagangan Indonesia-Cina mungkin lebih baik dilakukan melalui pihak ketiga, yaitu Hongkong dan Singapura. Meskipun perdagangan langsung tidak lancar, namun volumenya terus meningkat.

Foto Menteri Luar Negeri RRC Wu Xueqian
Menteri Luar Negeri RRC Wu Xueqian
Upaya ke arah normalisasi Indonesia-Cina terus berlanjut. Selama kunjungannya di Indonesia dalam rangka menghadiri peringatan 30 tahun KAA di Bandung, Menteri Luar Negeri RRC bernama Wu Xueqian dihadapan pers mengatakan bahwa Cina telah berhenti mendukung PKI.

Selengkapnya mengenai Peringatan Konferensi Asia Afrika di Bandung silahkan baca artikel : Peringatan 30 tahun Konperensi Asia-Afrika 1

Ia juga mengatakan bahwa kebanyakan pemimpin PKI yang mengungsi ke Cina setelah kudeta tahun 1965 telah meninggalkan Cina untuk pergi ke Eropa. Tentu pernyataan ini sesuai dengan tuntutan Indonesia apabila ingin menjalin kembali hubungan diplomatik.

Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Cina

Pada awal tahun 1989, Presiden Soeharto memutuskan untuk menghadiri pemakaman Kaisar Jepang Hirohito di Tokyo. Selama kunjungan tersebut, tepatnya tanggal 23 Pebruari 1989, Indonesia secara tiba-tiba mengumumkan bahwa ada kemungkinan bagi Jakarta dan Beijing untuk membuka kembali hubungan diplomatik.

Ini muncul sebagai suatu kejutan bagi banyak orang, karena rahasia ini sangat dijaga ketat. Dilaporkan bahwa wakil Cina telah mengadakan kontak dengan wakil Indonesia di PBB dan mengatakan keinginan mereka untuk bertemu dengan Presiden Soeharto di Tokyo, dan Indonesia pun menanggapinya secara baik.

Keputusan normalisasi hubungan Indonesia Cina tampaknya memiliki kaitan erat dengan hasrat Presiden Soeharto. Hasrat yang dimaksud adalah ingin memainkan peran dominan dalam politik dunia secara umum dan wilayah Asia Pasifik secara khusus.

Kunjungi: Sejarah Dunia Lainnya