Akulturasi budaya Hindu Islam pada upacara adat
Akulturasi budaya Hindu Islam pada upacara adat - Akulturasi budaya Hindu-Islam dalam hal upacara, di Jawa Tengah khususnya tampak pada bentuk upacara pernikahan, kelahiran, dan kematian. Tata cara pernikahan berakulturasi dengan kebudayaan pra-Islam.
Selain dipanjatkan doa dengan bahasa Arab, acara siraman, selamatan, dan sesaji yang merupakan peninggalan zaman Hindu-Buddha juga dimasukkan sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara pernikahan, dengan mendaraskan doa-doa dari Alquran.
Pengaruh umum pra-Islam yaitu masa Hindu-Buddha juga sangat tampak dalam ritual kelahiran. Di Jawa, misalnya prosesi kelahiran dimulai dengan upacara mitoni. Upacara ini dilakukan pada saat usia kandungan menginjak tujuh bulan.
Dalam upacara tersebut calon ibu melakukan siram untuk melindungi bayi dan ibunya dari bahaya. Akulturasi terlihat dalam doa-doa yang dibacakan bernafaskan Islam.
Selanjutnya tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba, yaitu kebudayaan zaman megalithikum yang mengenal kubur batu, yang hidup terus-menerus sampai sekarang.
Selengkapnya silahkan baca : Peninggalan zaman Batu Besar (Megalitikum/Megalitik)
Setelah jenazah dikuburkan, diadakan selamatan. Selamatan dimulai dengan hitungan hari ke : 3, 7, 40, dan hari ke 1000. Selamatan hari ke-1000 (tiga tahun) dianggap sebagai selamatan penutupan. Tradisi ini sesungguhnya peninggalan Hindu. Selamatan di hari ke-1000, misalnya mirip upacara sradha dalam tradisi Hindu.
Kata sradha berasal dari bahasa Jawa Kuno yang secara harfiah berarti yakin atau percaya, dalam hal ini percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (raja Majapahit), sradha adalah sebutan untuk upacara penghormatan atau bhakti terhadap leluhur yang telah meninggal.
Silahkan baca : Perjalanan panjang Kerajaan Majapahit
Silahkan baca : Perjalanan panjang Kerajaan Majapahit
Konon, Hayam Wuruk menggelar upacara sradha sebagai wujud baktinya kepada neneknya, Gayatri yang tidak lain adalah istri Raden Wijaya (raja Majapahit pertama). Kemudian, upacara sradha rutin dilakukan setiap 8 tahun sekali oleh penerus Hayam Wuruk. Bahkan hingga saat ini di Bali, upacara sradha sudah menjadi bagian dari tradisi umat beragama Hindu di sana.
Di Jawa sendiri upacara sradha masih dipraktikkan dengan sebutan nyadran. Tujuannya, selain sebagai wujud bhakti dan penghormatan, juga untuk memohon keselamatan bagi arwah leluhur yang telah meninggal tersebut, dan biasanya langsung digelar di tempat pemakaman arwah leluhur tersebut.
Waktu pelaksanaannya adalah pada bulan Ruwah (kalender Jawa kuno), maka dari itu di beberapa tempat seperti di Surakarta upacara ini disebut juga ruwahan.
Selain ketiga bentuk upacara tersebut, bentuk upacara lain yang populer sebagai hasil proses akulturasi adalah larung saji. Upacara khas Jawa ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari peringatan tahun baru 1 Muharram/1 Syuro, sebagai simbol rasa syukur atas rahmat dan berkat Tuhan Yang Maha Esa selama satu tahun yang telah lewat.
Upacara ini aslinya merupakan tradisi agama Hindu untuk menyambut Tahun Baru Sakka, yang kemudian dilanjutkan dalam kebudayaan Kejawen. Dalam tradisi agama Hindu, pelarungan sesaji merupakan simbol melepas angkara murka atau sifat jahat manusia ke alam.