Akulturasi sistem bangunan dan tata kota di Indonesia
Sejarah, Akulturasi sistem bangunan dan tata kota di Indonesia - Bentuk akulturasi yang tampak pada sistem bangunan tata kota sampai saat ini masih dapat kita jumpai dihampir seluruh bangunan tata kota di Pulau Jawa.
Pada zaman sebelum Hindu-Budha, masyarakat Indonesia belum mengenal bangunan dan tata kota yang kompleks, tertata, dan bernilai seni tinggi. Singkatnya, belum mengenal arsitektur.
Sejak Hindu-Buddha masyarakat mengenal sistem bangunan yang lebih kompleks, tertata rapi, dan bernilai seni tinggi dibandingkan sebelumnya.
Bangunan tersebut adalah keraton. Untuk membuktikannya anda bisa mengunjungi tempat wisata bersejarah keraton Jogjakarta dan Surakarta yang hingga saat ini masih digunakan.
Tempat tinggal raja ini biasanya terletak di pusat kota dan di kelilingi oleh tembok yang tinggi. Sebagaimana yang tampak pada keraton Solo (Surakarta) dan Jogyakarta, tembok tersebut umumnya memiliki empat pintu gerbang atau gapura yang menghadap ke empat arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur.
Di sebelah selatan istana biasanya terdapat alun-alun, di bagian barat keraton terdapat bangunan tempat peribadatan. Alun-alun keraton Jogja misalnya, memiliki fungsi masing-masing. Alun-alun Utara merupakan tempat berkumpul masyarakat dan bersifat dinamis.
Sedangkan alun-alun selatan dianggap sebagai penyeimbang, karena dimaksudkan sebagai tempat pelereman (peristirahatan) para Dewa, dan karena itu juga suasananya dibangun untuk dapat menenteramkan hati banyak orang.
Tata letak bangunan yang lazim disebut sistem macapat ini masih banyak kita jumpai di kota-kota lain di Jawa sebagaimana telah disebutkan di atas.
Sementara sisa-sisa bangunan keraton zaman dulu dengan sistem macapat masih dapat dilihat sampai saat ini, seperti Keraton Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur.
Baca juga: Akulturasi Islam dan tradisi lokal di Lampung
Baca juga: Akulturasi Islam dan tradisi lokal di Lampung