Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Interaksi sistem pemerintahan di Indonesia

Sejarah, Interaksi sistem pemerintahan di Indonesia - Dalam sistem pemerintahan, kebudayaan Hindu-Buddha mengenalkan sistem kerajaan dengan konsep dewa raja. Konsep ini memposisikan raja sebagai titisan para dewa. Para ahli sejarah menganggap konsep dewa raja sebagai hasil proses akulturasi, yaitu perpaduan antara Hinduisme dan pemujaan nenek moyang yang sudah lama dianut penduduk Nusantara.

Dalam bahasa Sansekerta, istilah dewa-raja dapat bermakna raja para dewa atau raja yang juga titisan dewa. Dalam masyarakat Hindu, jabatan dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau Brahma.

Konsep ini memandang raja memiliki sifat ilahiah, yaitu sebagai dewa yang hidup di atas bumi atau sebagai titisan dewa tertinggi.

Konsep dan keyakinan ini berkembang luas sejak masa Wangsa Syailendra, atau mungkin lebih tua sejak Kerajaan Tarumanegara. Prasasti Ciaruteun dari abad ke-5 mengukirkan telapak kaki Raja Purnawarman laksana telapak kaki Wisnu. Gambar prasasti Ciaruteun bisa anda lihat di artikel : 2 sumber bukti dan fakta sejarah

Prasasti Kebon Kopi I mengukirkan telapak kaki gajah tunggangan raja sebagai telapa kaki Airawata, gajah tunggangan Dewa Indra.

Di Kerajaan Medang Kamulan ada kebiasaan membangun candi untuk memuliakan atau mendharmakan arwah raja yang meninggal dunia. Arca dewa di ruangan utama candi seringkali merupakan arca perwujudan anumerta sang raja yang digambarkan sebagai dewa tertentu yang arwahnya bersatu dengan dewa yang dipuja dan naik ke swargaloka.

Contoh lain adalah Raja Airlangga dari Jawa didharmakan sebagai titisan Wisnu. Monumen peringatannya memperlihatkan ia sebagai Wisnu yang mengendarai Garuda. Ken Arok dari Singasari digambarkan sebagai inkarnasi Wisnu, juga anak Brahma dan Siwa.

Foto Patung Garuda Wisnu Kencana
Patung Garuda Wisnu Kencana, di Bali

Raja Kertarajasa atau Raden Wijaya sang pendiri Kerajaan Majapahit di Jawa, diabadikan dalam patung yang memperlihatkan ia sebagai Halihara, yaitu perpaduan antara Dewa Wisnu dan Dewa Siwa.

Tradisi dewa raja terus berlanjut pada masa Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, hingga Majapahit pada abad ke-15 Masehi.

Historia

Dewa raja adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara termasuk Jawa. Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat ilahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wisnu.

Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan alasan keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang palng maju di Jawa dan Kamboja, di mana monumen-monumen agung seperti Candi Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi.

Sementara iru, men-dharma-kan raja artinya menghormati dan memperingati raja yang telah meninggal dengan cara membuatkannya sebuah candi, di dalamnya dibuat patung wajahnya mirip salah satu dewa. Dengan begitu, raja tersebut dianggap sebagai titisan dewa tersebut.

Baca juga: Hasil interaksi kesusastraan di Indonesia
Supriyadi Pro
Supriyadi Pro Nama asli saya Supriyadi dan populer Supriyadi Pro. Saya seorang Expert wordpress developer freelancer, content writer, editor. Memiliki minat besar pada dunia teknologi, sains, seni budaya, social media, dan blogging. Saya kelahiran suku Jawa, di Wonogiri, Jawa Tengah yang ahli bahasa Jawa dan seni gamelan. Silahkan hubungi saya lewat laman yang telah disediakan atau kunjungi website profil saya di https://supriyadipro.com