Misteri sejarah kain merah Bendera Pusaka
Misteri sejarah kain merah Bendera Pusaka - Setiap tanggal 17 Agustus di angkasa Nusantara ini berkibar jutaan Sang Saka Merah Putih dalam berbagai ukuran dan keadaan. Dari yang masih baru atau yang sudah usang, besar dan kecil, berbentuk umbul-umbul atau penjor, sampai duplikat bendera pusaka berukuran 178 x 274 cm yang terpasang di tiang setinggi 17m di halaman Istana Negara, Jakarta.
Sejarah Kain Merah
Dari sejarah orang pun tahu jika Sang Merah Putih yang berkibar untuk pertama kalinya itu dijahit sendiri oleh Ibu Negara pertama Republik Indonesia, yaitu Ny. Fatmawati. Tetapi siapa sangka, kain merah bendera tersebut konon katanya bekas kain tenda sebuah warung kaki lima.
Seorang dari sedikit mantan pejuang kemerdekaan Brigjen TNI (Purn) Lukas Kustaryo pernah menuturkan bagaimana lika-likunya saat ia berupaya mencari kain merah untuk bendera pusaka. Konon, ide ini pun muncul secara tiba-tiba.
Kala itu, dari kancah romusha di Bayah, Banten Selatan, Shodanco Lukas diberi tugas secara inkognito membawa surat pribadi Tan Malaka untuk Bung Karno di Jakarta. Sesampainya di Jl. Pegangsaan Timur no.56, Kustaryo melihat Ny. Fatmawati menjahit bendera merah putih. Ketika itu bulan Agustus 1945, para tokoh pergerakan nasional sudah terlihat sibuk mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Apalagi di kediaman Bung Karno, terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya.
Tetapi saya lihat benderanya terlalu kecil, kira-kira hanya berukuran panjang setengah meter. Dalam hati saya berkata kayaknya tidak pantas, untuk proklamasi kok benderanya tak begitu bagus, ujar Kustaryo.
Ilustrasi Pengibaran Bendera Pusaka Sang Saka Merah putih pertama kali . |
Pencarian kain merah
Karena tidak tega melihat bendera kecil itulah atas inisiatif sendiri laskar Peta Pacitan berniat mencari kain yang lebih besar untuk bendera. "Kalau tidak salah Bu Fat sudah mempunyai kain seprai putih yang cukup panjang", tambahnya.
Tanpa tahu harus menuju ke mana mencari kain merah, pemuda kelahiran 20 Oktober 1920 ini lantas berjalan menyusuri rel KA dari Pegangsaan Timur sampai pasar Manggarai. Di pinggir pasar, ia melihat sebuah warung soto bertenda kain merah.
Nah, kebetulan pikirnya. "Saya tak lagi mikir jenis kainnya bermutu atau tidak. Meski saya lihat sudah tidak begitu bagus bahkan sudah robek, p0koknya kain tersebut masih pantas dipakai" kenangnya. Maklum di zaman Jepang mutu kain yang dikonsumsi rakyat sangat jelek.
Terdorong rasa kebangsaan yang meluap-luap untuk segera mendapatkan kain bendera itu, Kustaryo segera mendatangi si pemilik warung tenda. Satu-satunya yang dipikirkan bagaimana caranya mendapatkan barang tersebut.
Harga Kain Merah Rp 500,00-
"Saya beli kain ini dengan harga Rp 500,00- terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri. Melihat uang begitu banyak si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu tidak berlangsung lama."
Setelah itu, buru-buru ia membawa kain merah tersebut ke rumah Ibu Fat. Begitu diserahkan, Lukas langsung pergi lagi. Bahkan ketika bendera itu dikibarkan pada saat proklamasi, ia pun tidak tahu. "Setelah itu saya lalu pergi dari Jakarta, kembali bergabung dengan rekan-rekan pejuang lain. Maklum, waktu itu tentara Jepang yang bersenjata masih banyak berkeliaran. Belum lagi pasukan Inggris," kenangnya.
Selang beberapa tahun kemudian, suatu hari Lukas bertemu Ibu Fat lagi di Yogyakarta. Iseng-iseng ia bertanya apakah bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi tersebut adalah bendera yang kain merahnya pemberian dulu. "Bu fat menjawab, benar! Kain merah yang saya jahit itulah pemberian Saudara. Saudara memang sungguh berjasa. Terima kasih ... saya sampai lupa," begitu jawaban Ibu Fat seperti yang ditirukan Kustaryo.
Versi lain sejarah bendera pusaka ini, menurut Kustaryo memang belum pernah diketahui umum. Apalagi beberapa saksi mata yang melihat Lukas memberikan kain tersebut kepada Ny Fatmawati, semuanya sudah tiada. "Selain Bu Fat, sempat melihat adalah Bung Karno dan supir pribadi mereka. Kalau tidak salah namanya Pak... Sarip."