Latar belakang sistem tanam paksa di Indonesia
Latar belakang sistem tanam paksa di Indonesia secara garis besar dapat disimpulkan adalah untuk mengatasi kekosongan kas negara Belanda, Selama masa antara tahun 1816 dan 1830 pemerintah Belanda gagal dalam usahanya untuk mempraktekkan gagasan-gagasan liberal. Hal itu disebabkan karena tujuan utama yang harus dilakukannya adalah mengeksploatasi tanah jajahan untuk dapat memberikan keuntungan terhadap negeri induk. Di samping itu juga karena kurangnya pengertian terhadap suasana masyarakat Jawa.
Sementara itu pada tahun 1830 keadaan di tanah jajahan dan di Negeri Belanda sangat buruk. Pemberontakan Negara Belgia dan Perang Diponegoro telah banyak memakan beaya, sehingga beban hutang Negeri Belanda semakin besar.
Untuk menyelamatkan Negara Belanda dari bahaya kebangkrutan, maka Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia dengan tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara. Jawa dalam hubungan ini dianggap dapat mengisi kekosongan kas negara tersebut. Untuk melaksanakan tugas berat tersebut Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada soal peningkatan produksi tanaman ekspor yang selama sistem pajak tidak berjalan.
Mengingat Negeri Belanda pada waktu itu tidak mempunyai perdagangan, perkapalan dan pabrik, maka yang perlu dilakukan adalah mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk melakukan penanaman yang hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia.
Penanaman itu bukan dilakukan secara bebas, namun dengan sistem tanam paksa. Hal ini dilakukan Van den Bosch setelah melihat kegagalan sistem pajak tanah. Apa yang kemudian dilakukan Van den Bosch itu kemudian terkenal dengan Sistem tanam paksa atau dengan nama resminya cultuurstelsel.
Pengenalan Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diperkenalkan itu pada dasarnya berisi suatu keharusan bagi penduduk Jawa untuk membayar pajak pemerintah dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil tanaman pertanian, untuk selanjutnya diekspor ke pasaran dunia oleh Belanda.
Pusat perdagangan dunia tersebut adalah Negeri Belanda sendiri, yaitu pusat perdagangan bagi hasil-hasil tanaman dari daerah tropis. Dengan cara demikian pemerintah memungut pajak dalam bentuk hasil tanaman dagangan secara besar-besaran yang dapat dikirim ke Negara Belanda.
Di Negara Belanda barang-barang dagangan itu dapat dijual kepada para pembelinya dari Eropa dan Amerika dengan keuntungan yang besar. Industri di Negara Belanda perlu dihidupkan agar hasilnya dapat dijual ke Indonesia.
Selain itu, hubungan perdagangan antara Indonesia dan Belanda akan menghidupkan pelayaran dan perkapalan, karena pengangkutan barang-barang dari kedua negeri itu harus diselenggarakan oleh kapal Belanda sendiri. Keuntungan tidak hanya akan dipetik oleh pihak pemerintah, tetapi juga oleh para pengusaha Belanda sendiri.
Gagasan pelaksanaan tanam paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch itu pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem VOC, yang diajukan Parahyangan dengan sistem pajak tanah. Menurut ketentuannya sistem tanam paksa itu dilakukan atas dasar ketetapan-ketetapan, selengkapnya bisa anda baca di artikel sejarah 7 Ketentuan pokok tanam paksa
Jika melihat bunyi peraturannya, tanam paksa memang kelihatannya tidak terlalu menekan rakyat Indonesia. Malahan Van den Bosch sendiri menyatakan bahwa jika kewajiban pembayaran pajak-pajak diganti dengan kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya untuk menanam tanaman dagangan, misalnya 66 hari dalam setahun, maka kewajiban membayar pajak tanah dapat dianggap lunas.
Namun pada pelaksanaannya, sistem tanam paksa banyak mengandung penyimpangan yang memberaktn rakyat Indonesia. Banyak terjadi bahwa penyediaan tanah untuk tanaman dagangan melebihi dari 1/5, yaitu 1/3 atau 1/2. Malahan tidak jarang seluruh desa tanahnya dipergunakan untuk tanam paksa itu.
Kegagalan panen sering ditanggung oleh para petani. Banyak tenaga yang semestinya dibayar tetapi tidak dibayar. Pembayaran penyerahan gula banyak yang tidak sesuai dengan ketentuannya. Pekerjaan yang harus dikerjakan di pabrik-pabrik gula ternyata lebih berat daripada pekerjaan di sawah.
Penetapan pohon kopi yang harus di tanam sering dilakukan secara sewenang-wenang. Banyak penduduk dikerahkan untuk pekerjaan yang berat, seperti pengangkutan, pengolahan gula di pabrik, membuat jalan, saluran air, jembatan, yang semuanya tanpa diyar.
Penduduk yang dipekerjakan itu sering dipindah-pindah ke tempat-tempat yang jauh. Sebagai contoh, ketika tanaman nila diwajibkan untuk ditanam di daerah Parahyangan, maka beberapa desa di wilayah Simpur dipaksa untuk mengerahkan orang laki-lakinya dalam penggarapan perkebunan yang letaknya jauh dari desa tersebut. Pengerahan tenaga tersebut dilakukan selama tujuh bulan dan mereka tidak terurus. Mereka tidak bisa menghindarkan diri dari pekerjaan di perkebunan nila karena diancam dengan sangsi-sangsi yang berat.
Keadaan yang sama juga dialami oleh Penduduk Rembang, Jawa Tengah. Pada suatu ketika sebanyak 34.000 keluarga selama 8 bulan dalam satu tahun diharuskan mengerjakan tanaman dagangan dengan menerima upah yang kecil sekali setiap harinya. Tambahan lagi rakyat masih harus menyerahkan balok, bambu, dan kayu untuk pembuatan bangunan untuk tanaman t*mbakau.
Tanaman yang Wajib ditanam
Tanaman-tanaman terpenting yang diwajibkan untuk ditanam selama itu adalah kopi, gula, dan nila. Tanah yang digunakan untuk tanaman tersebut ternyata luas sekali dan telah meminta pengerahan tenaga rakyat yang tidak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh pada tahun 1858 sebanyak 450.000 orang telah dikerahkan untuk mengerjakan penanaman kopi, kurang lebih 300.000 orang untuk penanaman gula, dan 110.000 orang dipaksa untuk bekerja di perkebunan nila.
Sistem tanam paksa yang semula dimaksudkan sebagai usaha persetujuan yang didasarkan atas sukarela, dalam pelaksanaannya menjadi suatu paksaan. Adanya pemberian prosenan bagi pengumpulan hasil tanaman yang melebihi jatah kepada para petugas, mendorong para petugas berusaha mempertinggi hasil dengan menggunakan kekuasaannya. Untuk tujuan itu rakyat pada akhirnya ditindas untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya.
Apabila ditentukan bahwa tanah yang digunakan untuk penanaman wajib itu tidak dikenakan pajak tanah, dalam kenyataannya dikenakan juga. Dengan demikian juga kelebihan dari nilai taksir dari hasil yang diserahkan dari luas tanah yang harus dikenakan pajak, yang semestinya dibayarkan kembali kepada rakyat dalam prakteknya tidak dibayarkan. Pendek kata, dalam praktek tanam paksa dilaksanakan dengan jauh menyeleweng dari peratuannya.
Baca juga artikel yang membahas tentang tanam paksa (Cultuurstelsel) di bawah ini:
Demikian ulasan mengenai sejarah Latar belakang sistem tanam paksa di Indonesia, semoga menjadi catatan sejarah negara Indonesia khususnya.