Cerita Perayaan Natal di Tengah Perang Dunia I
Matahari senja mulai terbenam di perbatasan Perancis dan Jerman, tanggal 24 Desember 1914. Charles Brewer, seorang pemuda berumur 19 tahun, sedang meringkuk di dalam parit yang berlumpur. Ia adalah seorang Letnan Tentara Inggris dari ResimenBedfordshire Batalion ke-2. Malam itu, dia ditugaskan di garis depan konfrontasi pasukan Sekutu melawan pasukan Jerman, pada Perang Dunia 1, yang sudah berlangsung lima bulan.
Medan pertempuran tempat Brewer bertempur disebut Western Front, sebuah garis imajiner yang membentang dari pantai Utara Prancis, melewati perbatasan Perancis-Belgia (Belgia saat itu sudah dikuasai Jerman), hingga perbatasan Perancis-Jerman.
Sepanjang garis ini, pasukan Sekutu dan pasukan Jerman menggali parit-parit perlindungan yang membentang di kubu masing-masing. Parit dari kedua kubu tersebut diisi oleh infanteri, dijaga ketat dengan senapan mesin, dan didukung oleh mortal dan artileri di belakangnya.
Di salah satu bagian parit tersebutlah Brewer bertugas. Ia kecewa karena tidak bisa merayakan natal di rumahnya. Padahal ketika Inggris mendeklarasikan perang pada Jerman dan secara resmi ikut serta dalam Perang Dunia pada Agustus 1914, banyak yang memprediksi perang akan usai sebelum natal. Hal ini membuat banyak orang bernafas lega, harapannya para tentara bisa pulang ke negaranya masing-masing dengan damai.
Namun, setelah lima bulan berlalu dan ribuan nyawa melayang, perang tetap tidak berakhir hingga natal 25 Desember 1914. Meski kecewa, Brewer pun tidak menyangka bahwa ia akan merayakan Natal dengan cara yang sangat tidak biasa.
Di kegelapan malam natal yang senyap dan hanya diterangi rembulan itu, tentara Sekutu yang sedang meringkuk di paritnya tiba-tiba terkejut melihat cahaya di kubu parit Jerman. Curiga bahwa ini jebakan, Brewer dengan amat hati-hati mengangkat kepalanya dari balik parit tempat ia berlindung. Ia hampir tidak mempercayai apa yang ia lihat, tentara Jerman sedang menghias pohon natal dengan lampu-lampu yang indah.
Bersamaan dengan itu, Brewer juga mendengar para tentara Jerman melantunkan lagu bersama-sama. Ia mengenali lagu itu sebagai Christmas Carol dari nadanya. Frasa dalam bahasa Jerman “Stille Nacht” memang terdengar asing bagi orang Inggris, namun nada “Silent Night” tetap saja terdengar sangat familiar meski dinyanyikan dengan bahasa Jerman.
Setelah tentara Jerman selesai menyanyi, giliran tentara Inggris yang balas menyanyikan lagu Carol versi bahasa Inggris. Padahal beberapa jam sebelumnya, kedua kubu berbalas tembakan senjata mematikan
Ketika fajar menyingsing, 25 Desember 1914, hal luar biasa kembali terjadi. Di beberapa daerah sepanjang 500 mil garis Western Front, pasukan Jerman dan Sekutu secara sporadis bangkit menampakan diri dari parit mereka. Pasukan Jerman yang lebih dulu memulai, mereka melambaikan tangan ke arah kubu Sekutu. Diikuti pula oleh Sekutu yang juga melambaikan tangannya. Sontak, keduanya pun keluar dari parit masing-masing dan bertemu di area tengah antar kedua parit.
Di antara parit Jerman dan Parit Sekutu terdapatlah wilayah yang disebut No Man’s Land, secara kasar bisa diartikan “Tanah tak Bertuan.” Istilah ini merujuk pada area dimana kedua kubu yang berkonflik bertemu melakukan pertempuran.
No Man’s Land adalah panggung berdarah yang menjadi titik pertempuran pasukan Sekutu dan Jerman, sehingga wajar saja daerah ini dipenuhi mayat yang membeku, pohon-pohon hancur, dan kawah-kawah di tanah yang menganga karena ledakan bom mortar dan artileri. Namun pagi itu, No Man’s Land menjadi daerah penuh perdamaian.
Secara canggung, tentara Sekutu dan tentara Jerman berjalan mendekat dan mulai bersalaman. Dengan fasih tentara Jerman bisa menyapa dan mengucapkan selamat hari Natal dalam bahasa Inggris, karena ternyata banyak orang Jerman yang pernah lama bekerja di tanah Inggris. Setelah bersalaman, kedua pihak pun mulai bertukar hadiah, seperti cokelat, rokok, bir, dan sosis panggang.
Kopral Tentara Inggris, John Ferguson, ingat betul atas kejadian unik yang ia alami pagi itu. “Kami bersalaman, mengucapkan selamat natal, dan berbincang-bincang seolah kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun,” ujarnya. “Di sini kami ngobrol dan tertawa bersama orang-orang yang beberapa jam yang lalu berusaha kami bunuh!”
Momen perdamaian tersebut dimanfaatkan oleh kedua kubu untuk mengevakuasi mayat rekan-rekan mereka dan menguburkannya secara layak di belakang garis pertempuran. Tentara dari kedua kubu juga saling curhattentang kesedihan selama perang. Bahkan di beberapa lokasi, daerah angker No Man’s Land yang tadinya dipenuhi mayat dan bekas-bekas pengeboman itu malah menjadi ceria ketika para tentara mengadakan pertandingan sepak bola.
“Kami menandai tiang gawang dengan helm,” ujar Johannes Niemann, seorang Letnan Tentara Jerman, “dengan cepat kami membentuk tim, dan tim Jerman mengalahkan Inggris 3-2.”
Kisah menarik juga datang dari Frank Richard, salah seorang tentara Inggris. Ia bercerita, pernah ada sekelompok tentara Jerman yang membawa satu tong besar bir ke markas parit kubu Sekutu. Tong bir tersebut mungkin dirampas dari tempat penyulingan bir di sebuah desa terdekat. Dengan bersahabat, kedua kubu pun mengangkat gelas dan berdoa demi kesehatan masing-masing. Dengan bercanda, kedua kubu, Inggris dan Jerman, sama-sama sepakat bahwa bir Perancis memang tidak enak.
Tidak di semua tempat di sepanjang Western Front, dapat merasakan fenomena perdamaian natal. Kebencian yang sudah tertanam kental karena melihat rekannya yang gugur, membuat kontak senjata antar kubu tetap terjadi. Bahkan, ada beberapa kasus ironis ketika beberapa tentara yang keluar dari parit untuk ikut mengusulkan gencatan senjata, langsung ditembak oleh musuh.
Gencatan senjata tidak resmi ini memang memberi ketakutan bagi para komandan lapangan, yang khawatir fenomena ini membuat semangat tempur prajuritnya kendor, dan bahkan menyulut emosi tentara lain yang masih semangat bertempur.
Salah satu tentara yang memprotes gencatan senjata ini, adalah seorang pemuda yang kelak akan memantik Perang Dunia berikutnya.
Benar, Adolf Hitler ada di Western Front hari itu sebagai seorang Kopral di barisan tentara Jerman.seperti ini tidak seharusnya terjadi dalam sebuah perang! Apa kalian tidak punya harga diri lagi sebagai orang Jerman?” bentak Hitler pada rekan-rekannya.
Ketika matahari kembali terbenam di hari natal, para tentara berjalan kembali ke paritnya masing-masing. Beberapa gencatan senjata memang bertahan sampai Tahun Baru, namun hampir di semua tempat, perang kembali berkobar di tanggal 26 Desember pukul 8:30.
Melakukan gencatan senjata tanpa izin atasan, dan bahkan berinteraksi dengan musuh, dapat digolongkan sebagai pengkhianatan yang melanggar disiplin militer. Pelakunya akan sangat mungkin disidang di Pengadilan Militer dan dikenakan sanksi sangat berat. Hal ini yang membuat para tentara cukup takut dan segera kembali bertempur.
Kapten Charles Stockwell dari Royal Welch Fusiliers, Inggris, menembakkan senapannya tiga kali ke udara dan mengibarkan bendera bertuliskan “Selamat Natal.” Kemudian di kubu Jerman, sebuah bendera ikut berkibar dengan tulisan “terima kasih.”
Kedua pria dari kedua kubu tersebut melakukan hormat militer dan kemudian masuk ke paritnya masing-masing. Stockwell pun mendengar ada dua tembakan ke udara dari parit Jerman, pertempuran pun kembali dimulai.
Sumber: OA Historypedia Line,
Penulis: -Hürrem Sultan-