Mitos Sejarah Pengibar Pertama Sang Saka Merah Putih
Web Sejarah - Di balik penggusuran yang dilakukan di Rawajati, Jakarta Selatan di mana Ilyas Karim sebagai salah satu yang termasuk rumahnya digusur pada Kamis, 1 September 2016, terselip klaim lama Ilyas bahwa ia adalah pengibar pertama Sang Saka Merah Putih pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Ia mengaku pria yang memakai celana pendek di samping pengibar lainnya, Latief Hendraningrat dalam foto yang sudah sangat populer itu.
Namun, seperti telah jamak dalam catatan sejarah, bahwa sosok yang diklaim Ilyas sebenarnya adalah Suhud Sastro Kusumo. Karena itu, sejarawan mengkritik klaim Ilyas tersebut. Menurut Sejarawan JJ Rizal, seperti dikutip Kompas, Ilyas bukanlah pengibar bendera saat proklamasi. Hal tersebut sudah dinyatakan oleh beberapa orang sejarawan.
Baca juga: Sejarah panjang bendera merah putih
Pengakuan tersebut bukanlah pengakuan Ilyas Karim yang pertama kali (yakni pada 2016 in). Tetapi pengakuan tersebut sudah sejak beberapa tahun lalu (pertama kali pada 2011 dan karena pengakuannya itu, ia sempat dihadiahi apartemen di Kalibata City oleh PT Pradani Sukses Abadi (pengembang Kalibata City) Budi Yanto Lusli, di mana penyerahannya dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu, Prijanto.
Namun, Ilyas mengaku hingga kini hadiah itu tak pernah diterimanya sehingga ia harus tetap tinggal di pinggiran rel Kalibata).
Pemerhati dan kolektor buku sejarah, Fadli Zon seperti ditulis Detik.com juga menyebut klaim Ilyas itu tak benar. “Klaim itu tak bisa diterima. Sosok itu jelas Suhud,” papar Fadli. “Ilyas mengaku disuruh membantu Latief memegang tali. Tapi dalam buku kesaksian Latiaef dan lainnya tidak pernah ada hal itu. Jelas bahwa Suhud ‘lah yang berdiri di sana, bukan Ilyas,” lanjutnya.
Fadli juga sempat menunjukkan Majalah Tempo edisi 16 Agustus 1975 yang dimilikinya dan disimpannya dengan rapi yang memuat wawancara para pelaku sejarah. “Dalam majalah itu, yang mengibarkan Suhud. Jadi, yang tahu sejarah pasti marah,” ujarnya. “SK Trimurti pada tahun 1972 menulis, Suhud adalah komandan pengawal Bung Karno, ketika itu sibuk mengatur persiapan kemerdekaan,” lanjut Fadli.
Menurut Fadli, klaim seperti itu juga pernah terjadi di mana ada yang mengaku-aku Supriyadi. Karena itu, tugas sejarawan adalah meluruskan, demi sejarah yang otentik.
Menurut JJ. Rizal, seperti ditulis Republika, itu semua bisa terjadi karena sejarah di sekitar proklamasi seperti dikatakan Bung Hatta banyak mitos, legenda daripada realitanya. “Bung Hatta menyatakan itu sejak 1953 dan sampai kini mitos, legenda malah bertambah banyak,” ujar JJ Rizal.
Pemerintah dinilainya tak serius dengan sejarah. “Bukankah Pemprov DKI Jakarta beberapa tahun lalu termasuk yang memberi bantuan kepada Ilyas Karim,” sindirnya.
Oleh karena itu, kita patut menyambut rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Jendral Kebudayaan yang akan melakukan sertifikasi terhadap profesi sejarawan. Sehingga kita akan melahirkan sejarawan dan sejarah yang berkompeten dan diterima oleh dunia akademis internasional.
Dan yang paling utama dan penting, itu demi lurus, otentik, dan jernihnya sejarah kita. Karena tanpa belajar pada sejarah, kita akan mengulanginya. Karena sejarah adalah jiwa bangsa ini. Sehingga Bung Karno berpesan agar “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (JAS MERAH)!”
Baca juga: Bung Hatta dan Bung Karno sang Dwitunggal