Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Percobaan sistem demokrasi terpimpin tahun 1958

Percobaan sistem demokrasi terpimpin tahun 1958

Gagalnya Konstituante untuk membuat Undang-Undang Dasar baru menyebabkan Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Terdapat terlalu banyak partai politik yang dirasakan terus-menerus merusak persatuan dan kesatuan nasional dan stabilitas nasional. Ditambah dengan timbulnya gerakan separatis di daerah-daerah pada awal tahun 1958 yang mengancam integritas nasional itu sendiri.

Konsepsi Presiden Soekarno 1957

Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu pada bulan Pebruari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut Konsepsi Presiden mengenai :
  1. dibentuk Kabinet Gotong-royong yang terdiri dari wakil-wakil semua partai termasuk PKI ditambah dengan golongan fungsional (golongan rakyat).
  2. dibentuknya Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil semua partai dan golongan fungsional dalam masyarakat.

Beberapa partai yakni Masyumi, NU, PSII, Katholik dan Partai Rakyat Indonesia Menolak Konsepsi Presiden tersebut. Mereka berpendapat bahwa hak mengubah tatanegara secara radikal ada pada Konstituante. Lagi pula secara prinsipil mereka berkeberatan mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan, karena tujuan komunis di seluruh dunia adalah menggulingkan pemerintah yang tidak mereka kuasai. Dan menurut kenyataannya PKI pun sudah pernah mencoba menggulingkan Pemerintah RI dengan Pemberontakan Madiun.

Masalah Konsepsi Presiden untuk sementara waktu menjadi beku, karena perhatian masyarakat tertuju kepada usaha menumpas Pemberontakan PRRI dan Permesta. Sesudah pemberontakan berhasil dipadamkan, pada tanggal 22 April 1959 dihadapan sidang Konstituante Presiden Soekarno menganjurkan agar kembali  ke Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk menentukan sikap terhadap anjuran presiden itu, Konstituante mengadakan pemungutan suara 3 kali, Hasilnya adalah banyak suara setuju daripada yang menolak kembali ke UUD 45. Namun, jumlah suara masih kurang untuk mencapai suatu keputusan, sehingga situasi tetap terkatung-katung.

Perdebatan Partai dan Gagalnya Merumuskan UUD

Nyatalah sekarang bahwa partai-partai politik di dalam wadah Konstituante selama 3 tahun telah berdebat tidak menentu tanpa hasil apapun, gagal merumuskan sebuah Undang-Undang Dasar yang dipercayakan oleh kepadanya.

Konstituante juga tidak mampu memberi kata putus terhadap anjuran Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Maka terdapat kesan bahwa partai-partai politik tidak mampu menembus jalan buntu dengan sistem demokrasi parlementer.

Demokrasi tidak lagi dianggap suatu sarana untuk membawa kemajuan bagi rakyat, melainkan seolah-olah hanya sebagai permainan belaka bagi tokoh-tokoh partai politik saat itu.

Pada tanggal 2 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses yang ternyata adalah untuk selama-lamanya. Untuk mencegah ekses-ekses politik, Penguasa Perang Pusat mengeluarkan larangan semua kegiatan politik mulai tanggal 3 Juni 1959.

Kegagalan merumuskan sebuah undang-undang dasar baru dan ketidakmampuan menembus jalan buntu secara parlementer untuk kembali ke UUD 45, mendorong Presiden Soekarno untuk mengambil langkah inkonstitusional.

Dekrit Pembubaran Konstituante dan Kembali ke UUD 45

Pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 dalam suatu upacara resmi di Istana Merdeka, Presiden mengumumkan dekrit pembubaran konstituante dan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.

Dekrit itu mendapat sambutan dari seluruh rakyat yang sudah jemu kepada kemacetan nasional, korupsi dan tertunda-tundanya pembangunan. Pimpinan TNI-AD mengeluarkan perintah harian agar mengamankan Dekrit Presiden, sedang DPR Hasil Pemilihan Umum 1955, secara aklamasi bersedia bekerja terus dalam rangka UUD 1945. Dukungan yang spontan itu menunjukkan bahwa rakyat telah lama mendambakan stabilitas politik.

Mereka menggantungkan harapannya kepada berlakunya kembali UUD 45 dalam rangka Demokrasi Terpimpin. Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Presiden selaku kepala pemerintahan tidak bertanggung jawab kepada DPR, melainkan Presiden dan DPR keduanya ada di bawah Majelis Permusyawaratan (MPR).

Ternyata dalam sistem Demokrasi Terpimpin pengertian "terpimpin" lain dengan yang terdapat di UUD 45. Pengertian "terpimpin" dalam UUD 1945 adalah : "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".

Dalam permusyawaratan/perwakilan berarti di dalam MPR. Akan tetapi oleh Presiden Soekarno pengertian terpimpin ditafsirkan terpimpin secara mutlak oleh diri pribadinya. Untuk itu kemudian diciptakan atribut "Pemimpin Besar Revolusi" sehingga Presiden menjadi kekuasaan tertinggi dan mutlak di dalam negara.

Di dalam UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa presiden ada di bawah MPR dan merupakan mandatarisnya. Tetapi di dalam Demokrasi Terpimpin terjadi sebaliknya. Anggota-anggota MPR(S) diangkat berdasarkan Penetapan Presiden menjadi anggota MPRS yang tunduk kepada Presiden.

Presidenlah yang menentukan apa saja yang harus diputuskan oleh MPRS. Selanjutnya anggota Pimpinan MPRS diangkat menjadi menteri, berarti mereka berada di bawah presiden. Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III, sedangkan para wakil ketua yang diangkat dari pemimpin partai tiga besar (PNI, NU, PKI) dan wakil ABRI, masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri tidak ber-portofolio.

Pidato Kenegaraan Presiden: Penemuan Kembali Revolusi Kita

Kemudian Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" yang dinyatakan menjadi "Manifesto Politik Republik Indonesia" oleh MPRS ditetapkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum yang mendukung Dekrit Kembali ke UUD 45 tetap menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 45 dan menyetujui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah.

Akan tetapi ketika DPR melakukan fungsinya dengan kebetulan melakukan penolakan terhadap Rencana Anggaran Belanja Negara 1960, timbullah amarah Presiden Soekarno yang kemudian membubarkan DPR hasil Pemilu itu dan diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang anggota-anggotanya juga ditunjuk oleh presiden sesuai dengan rumus Nasakom ditambah dengan anggota-anggota militer.

Selanjutnya Penyebab pokok kegagalan ekonomi terpimpin